KALTARABISNIS.CO – Prospek harga minyak sawit mentah (CPO) kembali menunjukkan sinyal penguatan signifikan. Para analis dan pelaku industri memproyeksikan pasar sawit global tengah memasuki fase bullish baru, dengan rentang harga diperkirakan menembus US$1.050–US$1.125 per ton pada awal 2026.
Optimisme tersebut mengemuka dalam gelaran 21st Indonesian Palm Oil Conference and 2026 Price Outlook (IPOC) yang berlangsung di BICC, The Westin Resort Nusa Dua, Bali, Jumat (14/11/2025). Faktor utama yang diyakini menopang harga adalah perlambatan laju produksi di tengah permintaan global dan domestik yang terus meningkat.
Proyeksi Gapki Produksi Melambat
Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), M. Fadhil Hasan, menegaskan bahwa harga CPO berpotensi bertahan di level tinggi dalam beberapa bulan ke depan.
“Dalam jangka pendek hingga kuartal I/2026, harga diperkirakan tetap kuat di kisaran US$1.050–US$1.125 per ton,” ujar Fadhil dalam paparannya.
Menurut Fadhil, meski produksi CPO dan Palm Kernel Oil (PKO) sepanjang Januari–Agustus 2025 mencatat pertumbuhan 13%, tren ke depan menunjukkan peningkatan yang lebih moderat. Gapki memperkirakan produksi sawit nasional yang pada 2025 naik 3–7%, akan melambat menjadi 3–4% pada 2026. Perlambatan inilah yang diyakini akan mempersempit ruang pasokan dan menopang harga.
Analisis Dorab Mistry: Pasar Oversold
Pandangan serupa disampaikan Analis senior Godrej International Ltd., Dorab Mistry. Ia menilai pelemahan harga yang terjadi saat ini justru menjadi tanda awal kebangkitan baru. Menurutnya, pasar minyak nabati global sedang berada dalam kondisi “oversold” yang secara historis kerap memicu lonjakan harga besar.
“Fase Januari–Maret 2026 akan sangat bullish. Rebound kuat sangat mungkin terjadi ketika produksi menurun pada akhir tahun,” kata Mistry.
Mistry menyoroti beberapa katalis utama. Pertama, implementasi kebijakan biodiesel, baik rencana B50 di Indonesia maupun kebijakan di Amerika Serikat, akan menjadi penggerak harga paling besar. Kedua, ia menilai potensi pengetatan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) oleh Indonesia akan langsung mengurangi pasokan ekspor dan menjadi katalis pendorong harga global.
“Pasokan 2026 tidak terlihat nyaman. Karena itu prospeknya bullish,” tegasnya.






